Raka, Anak Agung Gede (2016) PURA PENATARAN SASIH PEJENG KAHYANGAN JAGAT BALI. Pustaka Larasan. ISBN 978-602-1586-65-5
|
Text
E-Book_Pura Penataran Sasih Pejeng.pdf Download (5MB) | Preview |
Abstract
Alam dan lingkungan sangat mempengaruhi kehidupan manusia yang ada di sekitarnya, oleh karena mereka dapat memanfaatkan alam dengan segala isinya sebagai sumber inspirasi untuk menyikapi berbagai permasalahan yang dihadapi di lam hidupnya. Namun demikian, setiap orang memiliki kewajiban menjaga kelestarian alam dan lingkungan dari berbagai ancaman yang mengganggu dan bahkan merusaknya. Konservasi adalah sebuah perwujudan cara pandang dan sikap tertentu terhadap alam, terhadap bumi atau tanah. Menurut Leopod, konservasi yang benar dan juga kepedulian terhadap lingkungan, sebagai perwujudan cara pandang dan sikap yang melihat alam semesta sebagai subyek moral. Manusia bukan segalanya, dan dilihat sebagai penguasa atau sebagai anggota yang lebih unggul dan paling superior dari mahluk hidup lain. Manusia adalah sekadar salah satu anggota komunitas biotis yang saling tergantung dan terkait satu sama lain (Sonny Keraf, 2002: 58). Mengingat pentingnya alam dan lingkungan dalam kapasitasnya sebagai situs pemukiman, terlebih untuk sebuah wilayah kekuasaan dan pemerintahan, niscaya dalam pemilihannya harus selektif, seperti terbebas dari longsor, banjir, gunung berapi, dekat sumber air, dan lain sebagainya. Tampaknya Pejeng dipilih sebagai tempat pemukiman di Anak Agung Gd. Raka masa silam, niscaya karena posisinya sangat strategis, yaitu berada di antara daerah aliran sungai (DAS) Pakerisan dan Petanu. Di satu sisi secara nonpisik (spiritual) yaitu dapat memberi kenyamanan untuk membangkitkan daya inspirasi, ekspresi dan kreativitas kehidupan spiritual, dan di sisi lain secara pisik (material) yaitu keberadaan alam lingkungannya sangat menarik, oleh karena memiliki tingkat kesuburan tanah yang sangat tinggi. Sumber air dengan debit air yang cukup besar, cukup beralasan bila masyarakatnya memiliki kecendrungan untuk mengembangkan kehidupan agraris. Kenyataannya, bahwa sebelum berkembangnya kehidupan dunia pariwisata di Bali yang berdampak terhadap berbagai sektor kehidupan masyarakat, sebagian besar masyarakat Desa Pejeng mata pencaharian hidupnya bertani. Demikian pula, dipilihnya Pejeng sebagai pusat kekuasaan di masa silam, niscaya dengan pertimbangan posisi (letak) Desa Pejeng yang sangat strategis, yaitu diapit oleh ke dua buah sungai tersebut. Sebagaimana diketahui, bahwa peranan air dalam kehidupan ini adalah sangat vital, oleh karena menjadi kebutuhan bagi semua mahluk hidup di alam raya ini, termasuk di dalamnya tumbuh-tumbuhan. Untuk kebutuhan keamanan wilayah kekuasaan, sungai juga dapat difungsikan sebagai benteng kekuasaan. Desa Pejeng yang diduga sebagai pusat kerajaan di jaman Bali Kuna, posisinya tepat berada di daerah dataran di antara kedua sungai tersebut. Dugaan tersebut cukup beralasan, oleh karena berdasarkan fakta realitas di lapangan, Desa Pejeng memiliki kekayaan yang amat banyak dan tak ternilai harganya, terutama di bidang warisan budaya. Warisan budaya yang dimaksud kebanyakan berupa Pura Penataran Sasih Pejeng Kahyangan Jagat Bali seni arca, posisinya menyebar di seluruh dusun, hampir semuanya tersimpan di dalam tempat suci. Tidak kurang dari enam puluhan tempat suci (pura) yang ada di Desa Pejeng dan posisinya menyebar di seluruh banjar/dusun. Bahkan ada sebuah peninggalan yang memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan budaya, yang berasal dari jaman prasejarah (Jaman Perunggu), yaitu berupa sebuah nekara perunggu yang tersimpan di Pura Penataran Sasih, yang lebih dikenal dengan sebutan “Bulan Pejeng”. Keberadaan warisan budaya masa lalu yang begitu banyak, sebagai indikasi bahwa Pejeng di masa silam merupakan pusat aktivitas budaya dan agama. Fenomena seperti itu hanya dapat terjadi bila ada penguasa yang betulbetul memiliki atensi tinggi terhadap agama dan budaya. Sebagaimana diketahui bahwa warisan budaya yang berwujud seni arca sudah jelas difungsikan sebagai media komunikasi keagamaan, yaitu sebagai media pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan segala bentuk dan manifestasinya. Warisan budaya seni arca yang begitu banyak menandakan bahwa kehidupan spiritual keagamaan mendapat perhatian yang sangat tinggi dari sang penguasa di jamannya. Menguatkan posisi Pejeng sebagai pusat kekuasaan di masa silam adalah banyaknya jumlah geria (rumah pendeta). Ada Sembilan (9) geria di Desa Pejeng (Stutterheim, 1929), yang keberadaannya satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisah-pisahkan. Bahkan Robson (1978: 87), selain sepakat dengan pernyataan Stutterheim bahwa Pejeng sebagai pusat kerajaan di jaman Bali Kuna, namun ia melihatnya dari aspek lain, yaitu adanya hubungan tradisi upacara keagamaan yang masih eksis sampai saat ini di antara pura-pura yang Anak Agung Gd. Raka dipandang penting di masa silam, seperti Pura Penataran Sasih (Pejeng), Pura Pusering Jagat (Pejeng), Pura Samuan Tiga (Bedulu), dan Pura Gunung Sari (Wanayu). Suatu hal yang patut dipahami dari pernyataan Robson adalah untuk secara bijak memandang bahwa dahulu Pejeng dan Bedulu merupakan satu kesatuan wilayah yang utuh, dan bukan terpisah sebagaimana keadaannya saat ini.
Item Type: | Book |
---|---|
Uncontrolled Keywords: | Pura Kahyangan Jagat Bali |
Subjects: | P Language and Literature > P Philology. Linguistics |
Divisions: | Institution of Research and Community Service (LP2M) > Master of Linguistics |
Depositing User: | I Putu Astina |
Date Deposited: | 30 May 2020 20:27 |
Last Modified: | 30 May 2020 20:27 |
URI: | http://repository.warmadewa.ac.id/id/eprint/741 |
Actions (login required)
View Item |