Raka, Anak Agung Gede (2015) Pura Kahyangan Jagat Masceti Gianyar. Cakra Press. ISBN 978-602-9320-52-7
|
Text
E-Book_Pura Kahyangan jadat Masceti.pdf Download (2MB) | Preview |
Abstract
ulau Bali terkenal dengan sebutan pulau seribu pura (the thousand of temples), baik di nusantara maupun di dunia (mancanagara). Wacana klasik tentang hal tersebut tidaklah berlebihan, oleh karena fakta realitas di lapangan memberi persaksian bahwa banyak pura dan ribuan jumlahnya menghiasi pulau dewata. Bilamana dikelompokkan berdasarkan atas karakternya, dapat dikategorikan menjadi empat kelompok besar, yaitu: Pura Umum, Pura Teritorial, Pura Fungsional (swagina), dan Pura Genealogis (Ardana, 1971). Agar keberadaan pura yang jumlahnya begitu banyak dapat menjadi jelas statusnya, termasuk kedalam kelompok mana pura yang dimaksud, sehingga lebih mudah untuk diketahui. Untuk itu, pura-pura yang tergolong Pura Umum, adalah: Pura Sad Kahyangan, Kahyangan Jagat dan Dang Kahyangan; Pura Teritorial (Kahyangan Tiga), yaitu: Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem: Pura Fungsional (swagina), yaitu: Pura Ulun Suwi (Siwi), Pura Ulun Carik, Pura Bedugul, Pura Melanting dan yang sejenisnya; dan Pura Genealogis yaitu pura yang terkait dengan hubungan (keturunan) darah, yaitu: Pedarmaan, Paibon, Panti, Merajan, Sanggah Kemulan, dan yang sejenisnya. Selama ini yang menjadi pertanyaan buat siapa pun yang datang ke Bali, termasuk warga masyarakat Bali, adalah: Mengapa di Bali banyak pura? Mungkin alasan yang paling tepat untuk dijadikan argumentasi adalah dengan merenung kembali 2 sejenak ke masa silam. Patut disadari bahwa sejak kehadiran tokoh-tokoh agama dan spiritual di Bali, seperti: Resi Markandia, Mpu Kuturan, Dang Hyang Astapaka, Dang Hyang Sidimantra, Dang Hyang Nirartha dan tokoh-tokoh agama dan spiritual Hindu lainnya, berdasarkan sumber-sumber yang ada bak sumber tradisi, purana, artepak, prasasti maupun yang lainnya, disebutkan bahwa semua tokoh tersebut memiliki tradisi membangun pura. Sebagai umat Hindu, mewarisi tradisi yang ditinggalkannya, sudah sepatutnya memiliki tanggung jawab moral untuk memelihara dan melestarikannya. Karena sifat flesibelitas Agama Hindu dalam menyikapi jaman, sehingga apa yang diwariskan dan selanjutnya ditradisikan dari generasi ke generasi berikutnya tentu disesuaikan dengan tuntutan jaman. Ketika berbicara pewarisan suatu tradisi yang sampai kepada kita saat ini, bahwa suatu hal positif yang perlu ditauladani berkenaan dengan tradisi masa lalu adalah kebiasaan mengabadikan atau menulis peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di jamannya. Sebagai contoh yang dilakukan oleh para raja dari dinasti Warmadewa di zaman Bali Kuna,di antaranya yaitu Sri Kesari Warmadewa, Candrabhayasingha Warmadewa, Dharma Udayana Warmadewa, Marakata, Anakwungsu, dan seterusnya sampai dengan pemerintahan Sri Asta Asura Ratna Bhumi Banten, raja Bali Kuna yang terakhir (Goris, 1951/52); kemudian pemerintahan raja-raja dari dinasti Kepakisan, seperti: Sri Kresna Kepakisan di Samprangan, Dalem Ketut Ngulesir, di Gelgel, dan Dewa Agung Jambe di Klungkung, Dewa Agung Pemayun dalam pengembaraannya (Tim Peneliti Penulisan Sejarah Bali, 1980), dan lain-lainnya. Hampir semua tokoh yang disebutkan di atas, cukup banyak meninggalkan catatan-catatan tertulis, dan patut disyukuri bahwa beberapa di antaranya telah sampai kepada kita saat ini. Dengan demikian, kita yang hidup sekarang sebagai generasi penerusnya, dapat 3 mengetahui bagaimana tentang kehidupannya di masa silam. Walaupun pengetahuan yang didapatkan terbatas adanya, namun setidaknya ada bayangan sekilas, tentang apa yang telah diperbuat ketika masa pengabdiannya. Berbeda halnya dengan keberadaan tokoh-tokoh yang disebutkan di atas, namun ketika berbicara tentang tinggalan (warisan) budaya masa lalu, khususnya warisan budaya yang berupa bangunan suci (pura), kebanyakan terjadi yang sebaliknya. Sudah menjadi masalah klasik, bilamana ingin meneliti dan menulis tentang purana pura, kebanyakan para peneliti mengalami kesulitan dalam hal mendapatkan sumbersumber tertulis tentang pura yang ditelitinya, khususnya dalam upaya penentuan periode tahun pendiriannya. Ketahuilah bahwa tidak semua pura di Bali yang ribuan jumlahnya terutama yang tergolong berusia tua diketahui dengan jelas, kapan dan siapa yang mendirikannya. Sehubungan dengan pembicaraan di atas, hal yang serupa juga kami alami dalam penelitian di Pura Masceti, bahwa sumber-sumber tertulis berupa prasasti yang merujuk kepada tahun pendirian pura, sama sekali tidak ada. Maka untuk mendapatkan gambaran tentang periode pendiriannya, dicoba melalui kajian yang saksama terhadap artepak-artepak yang ada dan dipandu dengan eksistensi alam lingkungan di sekitarnya, mitos yang berkembang di masyarakat, purana, dan sebagainya. Melalui langkah tersebut diupayakan dengan maksimal untuk memperoleh gambaran tentang periodisasi pendirian Pura Masceti. Untuk lebih jelasnya, pada bagian berikut akan dibahas aspek-aspek yang dipandang prinsip untuk diketahui berkenaan dengan Pura Masceti, yang akan disajikan dalam beberapa Bab, yaitu pada Bab II dibahas tentang Sejarah Pura Masceti; Bab III dibahas tentang Struktur Pura, Fungsi Pura dan Status Pura Masceti; dan pada Bab IV sebagai bagian akhir dari tulisan ini, dibahas tentang Pangemong, Panyungsung, Upacara Piodalan, Pemangku dan prajuru Pura Masceti.
Item Type: | Book |
---|---|
Uncontrolled Keywords: | Pura kahyangan Jagat |
Subjects: | P Language and Literature > P Philology. Linguistics |
Divisions: | Institution of Research and Community Service (LP2M) > Master of Linguistics |
Depositing User: | I Putu Astina |
Date Deposited: | 30 May 2020 20:27 |
Last Modified: | 30 May 2020 20:27 |
URI: | http://repository.warmadewa.ac.id/id/eprint/740 |
Actions (login required)
View Item |